Wednesday, December 20, 2006

Politik Kantor

Politik kantor. Selama kita bekerja dalam lingkungan kantor, kita pasti mengenalnya. Namun sejauh apa kita mengenalnya? Perspektif apakah yang muncul di dalam benak kita pada saat mengingat politik kantor?

Pada saat satu orang atau lebih berencana untuk mencapai tujuan-tujuannya, sebenarnya ia telah berpolitik. Pada lingkungan kantor, situasinya lebih kompleks. Hirarki organisasi, job description, kewenangan, project-project perusahaan, hubungan dengan pihak ketiga (third party) dan lainnya membuat situasi jauh lebih kompleks daripada sekadar berencana untuk mencapai tujuan (memenuhi kepentingan-kepentingan).

Dalam hubungannya dengan politik kantor ada tiga jenis orang yang terlibat. Pertama orang yang naif. Si naif sebagian besar adalah orang yang baru lulus dari kuliah/ sekolah dan mulai meniti karir. Orang yang naif adalah orang yang percaya bahwa manusia pada dasarnya baik, dan memiliki pikiran positif dan sangat idealis. Menurut penelitian John P. Kotter, dalam bukunya Power and Influence, 80% dari mahasiswa bisnis yang diajarnya di Harvard Business School adalah orang-orang yang naif.

Jenis orang kedua, adalah orang yang sinis. Berkebalikan dengan orang yang naif, orang-orang yang sinis adalah orang-orang yang percaya bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat buruk. Bila manusia memiliki kesempatan, maka ia pasti akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya.

Kita ambil contoh kasus. Misalkan saja, ada seorang pegawai bernama Wisnu. Ia bekerja pada sebuah perusahaan konsultan IT yang bergerak pada bidang teknologi medis sebagai developer. Suatu kali karena ibunya sakit dan dirawat di rumah sakit, ia harus sering menemani ibunya. Dari pengalaman tersebut ia menyadari bahwa sistem di rumah sakit ternyata tidak responsif. Dan ia memiliki ide untuk memperbaikinya. Ide tersebut kemudian ia bicarakan dengan atasannya, yang kebetulan memiliki hubungan sangat dekat dengannya. Atasannya sangat tertarik, dan ingin membawanya ke rapat direksi untuk mendapat dukungan para direktur.

Akhirnya tibalah harinya. Wisnu dan atasannya mempresentasikan ide tersebut dan mendeskripsikan solusi pengembangan sistem yang akan memperbaiki kinerja manajemen rumah sakit. Solusi tersebut disambut sangat antusias oleh para direktur. Akhirnya Wisnu ditunjuk sebagai Project Manager atas proyek itu, dan diperkenankan atas resource yang ada pada perusahaan untuk segera memulainya.

Wisnu kemudian mencari orang-orang yang tepat untuk terlibat dalam proyek. Ia sendiri sebenarnya sudah terlibat dalam proyek lain (proyek yang dipimpin atasannya), dan dengan demikian juga dengan orang-orang lain yang akan ditarik masuk ke dalam proyeknya, merupakan orang-orang yang sudah terlibat dalam proyek lain. Jadi tantangan pertama sudah muncul: Wisnu harus bisa meyakinkan pegawai lain untuk terlibat dalam proyeknya.

Wisnu mulai mendapatkan orang-orang yang tepat untuk segera memulai proyek. Proyek harus dikerjakan pada after office hour tanpa uang lembur tambahan. Pada minggu pertama, proyek berjalan lancar. Namun pada minggu kedua ia mulai kehilangan orang-orangnya karena sibuk dengan proyek mereka sebelumnya, sehingga membuat Wisnu sedikit frustasi.

Wisnu ingin mendiskusikan masalahnya dengan direktur utama agar bisa mendapatkan orang-orang yang bisa full time untuk proyek itu. Saat ditemui, direktur hanya bisa diam mendengarkan dan hanya mengatakan: “saya harap kamu tahu konsekuensi dari proyek ini, saya harap kamu bisa menyelesaikannya dengan baik”. Hanya itu. Wisnu termenung, dan terpaksa menerima keadaan bahwa ia harus memanfaatkan pegawai yang ada.

Walau berjalan agak tersendat, selama bulan pertama Wisnu mampu melewatinya dengan baik. Namun tiba-tiba ada isu bahwa proyek itu sudah tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan akan di-terminate. Wisnu shock saat mendengarnya dari obrolan makan siang dengan pegawai-pegawai lain dan ingin segera mengklarifikasinya. Ia lalu membuat janji dengan direktur utama untuk membicarakannya. Namun ternyata beliau sedang meeting dengan client dan tidak bisa diganggu. Dan ternyata keadaan ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Hal ini membuat Wisnu menjadi ragu atas komitmen beliau.

Ia tidak mendapatkan pertemuan yang diinginkan. Ia kemudian mendapatkan e-mail internal di inbox-nya yang menyatakan bahwa proyek di-terminate karena tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan perusahaan mengucapkan terima kasih atas usaha yang telah dilakukan. Hanya itu, tanpa penjelasan lebih jauh. Wisnu merasa sangat kecewa, seluruh tenaga dan pikiran yang telah ia curahkan selama ini seperti sia-sia. Ia telah mengalami titik jenuh setelah kerja selama dua tahun di perusahaan itu, dan merasa mendapatkan kembali gairahnya dengan proyek itu. Namun tiba-tiba semuanya melayang begitu saja. Ia kecewa, dan meragukan komitmen perusahaan. Ia mulai merasa perusahaan tidak berjalan pada jalur yang benar. Ia merasa perusahaan tidak menghargai ide yang bagus, tertutup akan perubahan dan tidak menghargai pegawai. Ia memutuskan untuk keluar dari perusahaan hari itu juga.

Ia langsung membuat surat pengunduran diri. Ia menghabiskan banyak waktu di rumah untuk menunggu pekerjaan selanjutnya. Namun, dari chatting dengan teman sekantornya dulu, ia menemukan ternyata ada konspirasi dibalik terminate proyeknya. Direktur marketing perusahaannya menemukan bahwa untuk menjual solusi yang ditawarkan Wisnu, pihak marketing harus mempelajari pengetahuan baru yang tidak sedikit. Kemudian direktur marketing membuat memo kepada bawahannya untuk membuat perhitungan pesimis terhadap potensi pasarnya dan mengirimnya pada direktur utama.

Wisnu merasa sangat sakit hati mendengar hal tersebut, dan menyadari bahwa semuanya sudah terlambat. Ia mulai menyadari di perusahaannya yang lama penuh dengan politik kantor yang picik dan menyesal karena telah menjadi korban.

Dari cerita itu, apa respon yang kita harapkan dari orang yang naif? Orang yang naif menyatakan bahwa Wisnu adalah seorang pahlawan. Tidak semestinya ia diperlakukan seperti itu. Ia adalah orang berbakat yang memiliki ide yang bagus yang menjadi korban orang-orang yang picik pada perusahaan itu.

Bagaimana dengan respon orang yang sinis? Orang yang sinis menyatakan bahwa Wisnu adalah orang yang menyedihkan (paethetic). Ia tidak seharusnya terlibat lebih jauh dengan proyek coba-coba seperti itu yang membuatnya berada di tengah pusaran politik perusahaan. Orang-orang yang telah berpengalaman dalam politik perusahaan akan langsung menyingkirkan orang-orang yang bagus seperti Wisnu.

Namun apa kejadian sebenarnya? Sebenarnya Wisnu bukanlah seorang pahlawan ataupun seorang yang paethetic. Jenis orang yang ketiga (yang sekarang baru disinggung) tidak melihat dengan cara kedua jenis sebelumnya. Orang jenis ketiga memiliki pandangan yang lebih kompleks dan memperhitungan faktor-faktor yang terlibat dalam perusahaan.

Untuk memahami situasi kompleks pada perusahaan, yang harus kita perhatikan adalah dua hal: variasi dan kesalingtergantungan.

Yang dimaksud dengan variasi adalah, bahwa kita harus memahami bahwa dalam perusahaan orang-orang yang ada didalamnya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, seperti: latar belakang pendidikan, suku (suku juga menentukan kecenderungan seseorang), umur (generasi yang berbeda memberikan cara pendang yang berbeda), gender (lelaki atau perempuan) dan pengalaman.

Sedangkan kesalingtergantungan adalah kita harus memahami bahwa pada saat seseorang masuk ke dalam suatu perusahaan sudah dapat dipastikan bahwa ia memiliki kesalingtergantungan dengan orang-orang lainnya dalam perusahaan itu. Tingkat kesalingtergantungannya berbeda-beda. Namun, harus diperhatikan dengan baik, terutama yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan diri kita.

Kesalingtergantungan adalah hal yang sangat penting, bahkan ia lebih penting dari hirarki organisasi. Karena, bisa saja seseorang berada pada tingkat hirarki yang tidak terlalu tinggi, namun ia memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perusahaan. Hal ini dimungkinkan apabila perusahaan memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap dia. Dan sebaliknya, seseorang bisa saja memiliki posisi yang tinggi pada tingkat hirarki organisasi, namun dia tidak memiliki pengaruh yang kuat, karena perusahaan tidak terlalu tergantung padanya.

Misalnya saja, dalam kasus Wisnu. Pada saat ia memulai proyek, ia harus memahami kepada siapa saja ia tergantung pada proyek itu secara langsung. Kemudian ia harus bisa menakar sejauh apa ketergantungannya pada orang –orang itu. Pertama, orang yang bisa men-terminate proyeknya. Siapa sajakah? Ia harus melakukan pendekatan yang tepat pada orang yang tepat. Ia harus bisa menjelaskan keuntungan proyek itu, dan dapat menjelaskan pula bahwa dengan adanya proyek itu sedikit orang yang merasa dirugikan atau terancam. Dengan demikian Wisnu dapat mengurangi tekanan-tekanan yang mengelilinginya.

Harus dipahami, bahwa tidak semua orang seperti Wisnu. Tidak semua orang mengerti teknis dari proyek dan paham seberapa penting dan hebatnya ide Wisnu itu. Wisnu harus memahami variasi dari orang-orang yang terlibat dalam perusahaan. Intensi setiap orang yang terlibat dalam proyek mungkin berbeda.

Pemahaman akan variasi dan kesalingtergantungan akan membawa Wisnu menginisiasi proyek dengan baik dan menjaganya agar tidak terminate dan sukses hingga akhir. Ini merupakan keahlian yang sangat penting dalam perusahaan. Keahlian ini tidak berhubungan dengan hirarki perusahaan, dan bila dikuasai dengan baik dapat mereduksi potensi-potensi konflik yang ada yang dapat mematikan ide-ide yang baik dalam perusahaan.

Perlu disadari bahwa keahlian ini tidak hanya perlu dimiliki oleh seorang manajer atau seseorang yang berada dalam level manajerial saja. Namun, dibutuhkan oleh semua orang dalam semua level hirarki. Tujuannya adalah untuk mengurai benang hubungan-hubungan informal dalam perusahaan dan menjadikannya pendukung untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kita.

Ini adalah jenis orang ketiga. Orang yang efektif. Atau menurut seorang sahabat saya ‘seseorang yang bermain’. Seorang ‘pemain’.

Apakah seorang yang naif adalah jenis yang baik? Perlu diketahui bahwa seorang yang naif dan seorang yang sinis sama-sama buruk. Kedua-duanya adalah jenis orang yang tidak tahu ‘permainannya’. Siapakah jenis orang yang sinis ini?

Orang sinis mungkin dahulunya adalah seorang yang naif. Mengapa? Karena kenaifan mereka, mereka hanya berpikiran positif dan baik-baik saja tentang suatu keadaan. Apabila suatu tarik-ulur kepentingan sedang terjadi, seseorang yang naif tidak dapat mendeteksinya dengan baik, ia berpikiran baik tentang orang. Tidak mungkinlah dia melakukan itu. Dia orang yang baik kok. Dan buah pikiran lainnya dari orang-orang naif. Orang-orang naif kerap menjadi korban bila hal ini terjadi. Itu yang terjadi pada Wisnu. Tanpa mereka sadari sama sekali.

Karena sering kali menjadi korban, ia mulai ragu bahwa semua orang baik. Seperti kata Agnes Monica dalam suatu Infotainmen: “ya saya jadi tahulah, di dunia itu lebih banyak orang munafiknya daripada yang nggak!”. Orang-orang sinis ini dahulunya ternyata orang baik yang naif.

Bagaimana dengan orang sinis sendiri? Orang-orang sinis adalah orang-orang yang resisten. Orang-orang yang tidak mau masuk dalam ‘permainan’ karena kecewa, atau mungkin bila masuk kedalamnya dan ikut bermain takut menjadi tidak bisa men-­judge orang-orang yang picik yang telah masuk lebih dahulu.

Jadi, menjadi efektif sangat penting dalam perusahaan. Kita harus cepat menyadari situasi dalam perusahaan dan memposisikan diri dengan tepat. Dengan memahami variasi dan kesalingtergantungan pada perusahaan akan lebih mudah untuk mengurai benang kusut bernama politik kantor.

No comments: